Jakarta — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan memangkas dana bagi hasil (DBH) untuk sejumlah daerah, termasuk DKI Jakarta. Nilai pemangkasan mencapai sekitar Rp15 triliun, membuat potensi APBD Jakarta 2026 turun dari Rp95 triliun menjadi Rp79 triliun.
Menanggapi kebijakan itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan pemerintah daerah tidak mempermasalahkan langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ia menilai keputusan pusat sudah melalui kajian matang.
“Pemerintah Jakarta sama sekali tidak argue terhadap itu. Kami akan mengikuti dan menyesuaikan karena langkah yang diambil pemerintah pusat pasti sudah dipikirkan dengan matang,” ujar Pramono di Balaikota Jakarta, Selasa (7/10).
Pramono bersama Wakil Gubernur Rano Karno akan memimpin langsung evaluasi belanja daerah. Semua organisasi perangkat daerah (OPD) diminta mengefisiensikan anggaran dan menajamkan prioritas.
Untuk menutupi kekurangan akibat penurunan DBH, Pemprov DKI berencana menggunakan creative financing melalui skema seperti Jakarta Collaboration Fund atau penerbitan obligasi daerah.
Gelombang Protes dari 18 Gubernur
Berbeda dengan DKI Jakarta, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda dan 17 gubernur lain di Indonesia menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan pemotongan tersebut. Mereka bahkan mendatangi kantor Kemenkeu untuk menyampaikan protes langsung kepada Purbaya.
“Semuanya tidak setuju karena ada beban PPPK yang besar serta komitmen pembangunan jalan dan jembatan,” tegas Sherly di Jakarta Pusat.
Sherly menjelaskan, rata-rata daerah mengalami pemotongan anggaran 20–30 persen. Beberapa wilayah bahkan terkena dampak lebih parah, seperti Jawa Tengah yang disebut mengalami penurunan hingga 60–70 persen, sehingga menghambat pembangunan infrastruktur vital.
Dampak Fiskal dan Analisis Ekonom
Ekonom Yusuf Rendy Manilet dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menjelaskan bahwa DBH merupakan sumber penting bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Pemangkasan DBH, katanya, berpotensi menghambat program pembangunan dan layanan publik.
“Ketika alokasi DBH turun, kemampuan fiskal daerah kecil menjadi terbatas sehingga program pembangunan bisa terganggu,” ujar Yusuf.
Ia menambahkan, daerah yang bergantung pada sektor sumber daya alam (SDA) akan merasakan tekanan lebih berat, terutama karena harga komoditas juga tengah menurun. Hal ini menciptakan efek ganda terhadap pendapatan daerah.
Untuk mengatasi hal ini, Yusuf menyarankan daerah memanfaatkan alternatif pembiayaan seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun, dua pos tersebut juga disebut akan mengalami penyesuaian tahun depan.
Opsi Pinjaman Daerah Jadi Jalan Tengah
Menurut Yusuf, pinjaman daerah bisa menjadi solusi, tetapi harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian karena berpotensi menimbulkan beban keuangan jangka panjang. Ia mengingatkan agar pemerintah daerah tidak gegabah menggunakan skema tersebut tanpa perhitungan risiko.
“Pinjaman bisa jadi jalan keluar, tapi jika tak dikelola hati-hati justru bisa mempersempit ruang fiskal di masa depan,” jelasnya.
Pandangan Ekonom Lain: Potong Tapi Tepat Sasaran
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai pemangkasan DBH bisa diterima bila tujuannya untuk menyehatkan fiskal dan meningkatkan kualitas belanja, bukan semata menghemat kas negara.
“Pemerintah harus ubah pendekatan potong rata menjadi berbasis kebutuhan dan kinerja daerah. Fokus pada layanan dasar, logistik pangan, serta infrastruktur kecil,” ujar Syafruddin.
Ia menyarankan pemerintah menerapkan mekanisme holdback bersyarat—di mana sebagian dana ditahan dan baru dicairkan setelah daerah memenuhi standar transparansi dan kualitas proyek. Langkah ini dinilai dapat menjaga disiplin fiskal sekaligus memastikan roda ekonomi daerah tetap berputar.
Syafruddin menegaskan, pemangkasan sebaiknya dilakukan selektif agar tidak menghambat pembayaran gaji aparatur dan pemeliharaan fasilitas publik. Evaluasi berbasis data kas dan kinerja dianggap penting untuk menentukan arah kebijakan selanjutnya.
Baca juga berita menarik lainnya hanya di AgenNews.com.
